Pendudukan Gedung DPR/MPR RI adalah peristiwa monumental dalam proses pelengseran Soeharto dari tampuk kekuasaan Presiden dan tuntutan reformasi. Dalam peristiwa ini, ribuan mahasiswa dari berbagai kampus bergabung menduduki gedung DPR/MPR untuk mendesak Soeharto mundur. Setelah peristiwa penembakan mahasiswa Universitas Trisakti pada tanggal 12 Mei 1998, seluruh lapisan masyarakat Indonesia berduka dan marah. Akibatnya, tragedi ini diikuti dengan peristiwa anarkis di Ibukota dan di beberapa kota lainnya pada tanggal 13—14 Mei 1998, yang menimbulkan banyak korban baik jiwa maupun material. Peristiwa bulan Mei 1998 menunjukkan dengan jelas bahwa politik rezim militer Orde Baru (yang intinya adalah Golkar dan TNI-AD) adalah sumber utama dari kerusuhan besar-besaran ini. Oleh karena itu memperingati peristiwa bulan Mei 1998 adalah berarti membongkar lebih jauh kejahatan dan kesalahan Orde Baru. Tidak bisa lain, hubungan antara peristiwa bulan Mei 1998 dan akibat politik Orde Baru adalah erat sekali.
Indikasi kerusuhan dilakukan secara sistematis dan meluas karena peristiwa itu terjadi di lima kota besar Indonesia pada saat yang hampir bersamaan dengan pola yang sama. Polanya, ada pengumpulan massa dan ada provokator yang mendorong massa melakukan penjarahan. Kendati para provokator itu tidak melakukan penjarahan. Selain itu, para provokator juga melakukan pembakaran terhadap toko dan pusat-pusat perbelanjaan yang kemudian diikuti oleh massa. Pada saat bersamaan, ketika massa melakukan penjarahan dan pembakaran terhadap toko dan pusat-pusat perbelanjaan, aparat keamanan tidak satu pun yang ada di lapangan untuk menghentikan kerusuhan itu.
Terjadinya pelanggaran sila Kemanusian Yang Adil dan Beradab yang bersifat vertical, seperti juga sila ini ditarik dari pengalaman bangsa yang dijajah, pelanggaran nilai-nilai HAM paling sering terjadi antara yang dijajah dengan yang menjajah, yang dikuasai dengan sang penguasa, rakyat dengan dominasi kekuasaan, rakyat dengan dominasi pemerintahnya. Ini yang dinamakan pelanggaran HAM yang bersifat vertical. Dikarenakan pemerintah dilengkapi dengan sarana pengamanan seperti militer lengkap dengan senjatanya ataupun penegak hukum lainya seperti polisi, kejaksaan, kehakiman dll. Sangat mudah terjadi penyimpangan yang disatu sisi pemerintah dengan kekuasaan seharusnya mengayomi atau memberi rasa aman kepada masyarakat justru sebaliknya malahan menjalankan pemerintahan yang represif dan menghantui rakyatnya dengan rasa takut apabila berhadapan dengan penegak hukum yang berlaku sewenang-wenang dalam melakukan penegakan hukum.
Dan juga pelanggaran sila Kemanusian Yang Adil dan Beradab yang bersifat horizontal, rakyat bisa juga mencoba melakukan intimidasi, pemaksaan kehendak terhadap rakyat yang lain sehingga menimbulkan keterpaksaan lain pihak dalam melakukan sesuatu atau pada banyak hal memberikan sesuatu secara terpaksa kepada pihak lain, apakah itu secara organisasi ataupun secara individu. Yang paling menonjol saat ini di Indonesia adalah praktek premanisme dan mafia pengadilan. Maraknya praktrk KKN(Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) jelas melahirkan kondisi multilevel totalitarian secara vertikal di tengah masyarakat: mulai dari presiden hingga tukang parkir melakukan praktik KKN ini dan ini menjadi suatu “budaya” tersendiri di tengah masyarakat. Sistem demokrasi kita juga telah disalahkaprahkan dan ini dikampanyekan secara nasional dalam berbagai Penataran, acara televisi, kurikulum nasional, sehingga tidak jelas fungsi kontrol antar lembaga-lembaga pemerintahan yang ada: antara eksekutif, yudikatif, dan legislatif. Ini sangat menguntungkan lembaga kepresidenan yang terpisah dari rakyat namun memiliki “hak intervensi” terhadap lembaga tinggi negara lainnya. Dengan kata lain, fleksibilitas UUD’45 telah diselewengkan dengan pengertian yang jauh dari citacita demokrasi dan republik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar